top of page

REFFRESH

Written by Langit Biru

Assisted by Erwan Pragas


Ledak aktifitas invansif manusia kian hari kian menjadi-jadi, nahas memang hampir semua kegiatan manusia memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan ekosistem di bumi. Sebut saja Lumpur Lapindo sebagai satu contoh kerusakan alam yang terbilang mainstream di mata kita, bahkan bisa dibilang sudah basi untuk dipermasalahkan keberadaannya. Dalam kasus ini sebenarnya bukan hanya kegiatan penambangan saja yang memberikan andil dalam kerusakan lingkungan. Kemunduran moral muda-mu pada hari ini juga menjadi salah satu faktor penghambat kesetabilan ekosistem lingkungan hidup. Seni sebagai media propaganda tentunya harus membuktikan keikutsertaannya di tengah-tengah masyarakat, dengan memberikan wacana-wacana baru untuk mencapai ekosistem lingkungan yang ideal.

Dengan jumlah  2.064.168 jiwa, kota Sidoarjo tentunya menjadi kota dengan sirkulasi manusia yang terbilang relatif padat. Kisaran 900 perusahaan industri sekala besar berdiri kokoh di kota Sidoarjo, sebagai kota industri kota ini memang menggiurkan untuk rantauan menetap di kota ini. Berbicara perkembangan ekonomi kota lewat berdirinya industri sekala besar memang tidak dapat disangkal kebenarannya. 


Mengangkat masalah limbah memang bukan menjadi topik pembicaraan yang terbilang anyar di telinga kita. Pasalnya hingga detik ini kasus pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, minimnya regulasi limbah, dan kerusakan alam masih saja menjadi topik hangat di tengah kita. Entah menutup mata atau memang menyepelekan masalah ini, sejatinya permasalahan limbah akan menjadi bumerang dan memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan kita di bumi. 


Pemerintah  sebagai figur masyarakat, tentunya wajib memberikan edukasi dan fasilitas dalam penanganan masalah limbah. Ketegasan pemerintah kota, atas keberlangsungan aturan-aturan kawasan industri tentu harus bersifat rigid keberadaannya. Tanpa adanya ketegasan dari pemerintah daerah, dapat dipastikan masalah limbah tidak akan pernah terselesaikan. Fakta rendahnya kegiatan  regulasi limbah di TPA Jabon Sidoarjo hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Belum terciptanya keharmonisan pemerintah dengan masyarakat dalam menangani permasalahan sampah, memberikan dampak keterhambatan dalam pemecahan masalah. Keterampilan pemerintah kota Sidoarjo dalam membentuk strategi tata ruang, sistem regulasi andal, dan ketegasan peraturan perizinan mendirikan usaha sudah harus diujikan lagi kelayakannya.


Fenomena menjamurnya bisnis-bisnis kecil yang dilakukan muda-mudi demi menciptakan lapangan pekerjaan, tentu saja akan menjadi paradoks yang sangat liar di pikiran kita. Lemahnya regulasi limbah di Sidoarjo tentunya akan memberikan dampak negatif pada keseimbangan sirkulasi sampah kota. Terfokus pada tingginya penggunaan material plastik di Indonesia membuka mata kita untuk bijak dalam pemilihan dan penggunaan material yang akan dipakai. Lemahnya peran pemerintah dalam membangun kesadaran dan memperbaiki habit masyarakat lewat pendidikan moral, juga menjadi borok yang tak kunjung membaik hingga saat ini. 


Namun tidak sedikit pula usaha kopi yang dikembangkan oleh kawula muda Surabaya yang sudah mempertimbangkan konsep back to nature, yang dilengkapi dengan sistem pengolahan daur ulang limbah plastik. Beberapa kedai kopi tampaknya melakukan kerjasama dengan perusahaan daur ulang di Surabaya dan hal ini tentunya membuka mata kita atas kualitas pola pikir muda-mudi Jawa Timur dalam menanggapi isu kesenjangan lingkungan hidup. Berbicara soal kegiatan kerjasama pengusaha kopi dengan produsen daur ulang limbah plastik sudah semestinya dijadikan contoh bagi pengusaha industri skala kecil di Sidoarjo.


Seni rupa penyadaran tentunya bisa dijadikan metode baru dalam penanganan kasus masalah lingkungan. Dengan riset-riset perupa, secara natural memberikan dampak yang efektif untuk memantik masyarakat atas kesadaran lingkungan. Keterkaitan Seni dan masyarakat bila dijadikan subjek dalam dialog transformatif moral, tentunya akan menjadi jalan keluar dari setiap permasalahan yang terjadi dikehidupan kita. Menguak isu kesenjangan sosial ke permukaan dengan keberpihakan kepada masyarakat secara kritis harusnya dapat dijadikan satu metode publikasi yang ideal. Terkesan mencari perhatian memang, namun konsep seni kesadaran memang menitik beratkan fungsi profokatif seni rupa aksi, dalam mendapatkan atensi masyarakat luas bahkan dunia. Memanfaatkan media sosial dibalut dengan perspektif seni kesadaran memberikan kemudahan bagi pemerintah kota untuk notice dan mencari solusi penanganan untuk perbaikan struktur kota secara intensif.


Dengan exhibition yang bertajuk Reffresh, kolektif Lingkar Dalam kali ini mengajak masyarakat untuk terus melestarikan lingkungan sosial lewat penampilan karya seni penyadaran. Membangun kesadaran masyarakat lewat penyuluhan seni kesadaran harusnya menjadi program utama dalam penyiasatan perbaikan sirkulasi ekosistem kota. Namun tidak hanya terfokus pada masalah visual saja, namun penggunaan media dan topik pembahasan karya juga langsung bersentuhan dengan konsep kesadaran lingkungan. Kata Reffresh sendiri diambil dari penggalan makna reff (inti) dan reshuffle (perombakan).  Perkawinan dua penggalan makna dalam satu kata ini, secara harfiah berisi ungkapan pentingnya menata kembali moral masyarakat  lewat seni demi perubahan bumi yang lebih baik di masa depan.

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page