From FOMO To Greenwashing
- Zahra Yasmina
- Apr 22, 2024
- 2 min read
Yasmin's sentiments regarding ridiculous and unnecessary trends and small habits in creative work that need to be considered.
Written by Zahra Yasmina
One of our REFFRESH 2023 artists
Asap rokok, debu kendaraan, sungai kering penuh sampah, perubahan cuaca super ekstrem. Bahkan perusahaan-perusahaan besar dan berpengaruh hingga organisasi-organisasi kecil telah menyuarakan langkah besar yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya.
Banyak sekali kampanye-kampanye yang isinya berupa saran untuk menanam pohon di rumah masing-masing sehingga bertambahnya jumlah pohon di planet ini, menulis catatan harian di komputer dari pada di atas kertas, membeli produk-produk ramah lingkungan dengan harga fantastis, dan hal-hal merepotkan lainnya.
Trend botol minum tahan dingin 24 jam dan sedotan stainless itu hanya kedok untuk memenuhi rasa FOMO. Rak penyimpanan di rumah terisi penuh dengan kantong belanja. Pakaian baru tiap minggu merupakan kewajiban. Udara terlalu panas untuk berjalan kaki dan beraktivitas tanpa air conditioner. Daratan terlalu padat untuk dihadapi, jalur langit menjadi solusi.
Sepertinya kita perlu tempat makan dan minum dari rumah–pakai barang lama tidak masalah dari pada harus merogoh kocek untuk membeli yang baru dengan embel-embel ramah lingkungan. Bahkan membawa makanan sendiri juga lebih sehat. Kita juga perlu sedia tas belanja sebelum berpergian. Sepertinya naik transportasi umum lumayan oke untuk pergi ke sekolah. Sepertinya harus mengurangi segala rasa malas untuk kepanasan di jalan, berdesakan di bus, atau terjebak macet di tol.
Sebagai praktisi seni, sustainable living dalam berkesenian terdengar seperti sesuatu yang memberatkan. Apakah kita harus mendaur ulang sesuatu? Apakah kita harus menggunakan material langsung dari alam? Apakah kita harus membuat karya seni mengenai lingkungan? Merepotkan sekali.
Beberapa rekan sesama praktisi seni membuat kertas daur ulang mereka sendiri. Mereka mengolah limbah-limbah kertas dari kegiatan berkesenian mereka sendiri menjadi kertas yang bisa digunakan kembali. Terdengar merepotkan, tetapi mereka menikmati setiap proses pembuatannya.
Beberapa praktisi seni berkarya seni dengan media barang-barang bekas bahkan sampah. Mereka mengumpulkan benda-benda acak, kemudian menyusun benda-benda tersebut hingga membentuk suatu figur. Tetapi, apakah karya seni tersebut akan selamanya terpampang di dalam gallery? Bagaimana ketika pameran berakhir, karya seni tersebut tergeletak begitu saja di dalam studio yang akhirnya menimbulkan limbah baru?
Hal kecil yang sebenarnya juga tidak mempengaruhi kekaryaan seperti memilih cat refill sehingga dapat menggunakan ulang kemasan cat yang lama. Selain itu, mengurangi pengaplikasian cat (terutama cat akrilik) secara berlebihan pada karya seni saya. Karena seperti namanya, cat akrilik yang hasil akhirnya akan menjadi plastik, dimana plastik sendiri butuh ratusan tahun untuk terurai. Bayangkan jika banyak orang mengaplikasikan cat akrilik mereka secara berlebihan hingga terbuang sia-sia. Berapa lagi jumlah limbah yang harus tertimbun di planet ini?
Sepertinya masing-masing kita bisa memulai hal-hal sederhana dibanding mengerahkan seluruh dunia untuk melakukan hal-hal merepotkan. Ingat, jangan pelupa dan FOMO.
Comentarios